top of page
Writer's pictureBilly Gustav

Analisis Hiper-ritualisasi pada Iklan Morinaga Platinum


Iklan merupakan sebuah alat komunikasi yang digunakan oleh perusahaan untuk memasarkan produk maupun layanan yang hendak mereka jual. Dalam menggunakan metode persuasifnya, iklan menumbuhkan citra-citra yang kerap kali tidak dia punya. Mereka berusaha untuk membaca apa yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan nantinya akan mereplikasi fenomena-fenomena tersebut. Hal ini membuat periklanan memiliki peran yang kuat di dalam kapitalisme.

Goffman (Clark, 2017) menjelaskan bahwa iklan merupakan sebuah replikasi sosial yang sangat ritual. Iklan menjadi suatu hal yang layak untuk mendapatkan perhatian dan validasi yang lebih besar. Goffman di dalam kajiannya memfokuskan diri pada interaksi tatap muka dan kinerja yang terlibat, menguraikan perbedaan di kedua panggung, yakni panggung depan dan panggung belakang. Hacking (2004 dalam Clark, 2017) menyebut bahwa Goffman merupakan seorang yang cermat. Dia memperhatikan pertukaran sosial antarindividu, tidak hanya melalui kata-kata, melainkan juga nada, aksen, bahasa tubuh, gerak tubuh, dan penarikan keheningan.

Salah satu hal yang menarik dari studi Goffman pada iklan adalah hiper-ritualisasi. Umumnya pengiklan berusaha untuk memanfaatkan kumpulan tampilan yang sama, idiom ritual yang sama, dan yang bersumber dari masyarakat yang berpartisipasi dalam situasi sosial untuk mengejar tujuan yang sama, alih-alih menciptakan ekspresi ritual. Jadi pengiklan berusaha menciptakan efek dari kebiasaan masyarakat, mengatur kembali gaya hidup yang sudah ada sebelumnya, dan menggunakan apa yang sudah terputus dari kontrol kontekstual.

Pada kesempatan kali ini, penulis hendak menyajikan secara sederhana mengenai hiper-ritualisasi yang terjadi di dalam sebuah iklan yang memproduksi susu bagi anak. Ketika berbicara susu anak, sosok ibu menjadi hal yang tidak terpisahkan. Di situ, iklan memainkan bagaimana gender disajikan sehingga menghasilkan sifat yang hiper-ritual.


Gambar 1. Ibu yang sedang memandang anak-anaknya bermain

Sumber: youtube.com, 2021

Gambar 2. Ibu yang sedang mendampingi anaknya bercerita

Sumber: youtube.com, 2021

Gambar 3. Ibu yang gembira melihat anaknya minum susu

Sumber: youtube.com, 2021

Terkait dengan peran perempuan yang ditampilkan di dalam iklan tersebut terlihat bahwa perempuan selalu diproyeksikan oleh masyarakat menjadi seorang ibu yang terikat pada sifat-sifat femininnya, seperti penuh kasih sayang, perhatian, kesabaran, dan kebaikan. Hal tersebut terpatri di dalam masyarakat sehingga menghasilkan sebuah ‘ritual’, dan inilah yang nantinya akan menjadi hiper-ritualisasi. Hiper-ritualisasi menghasilkan suatu bentuk yang terstandar, berlebihan, dan penyederhanaan secara ekstrem. Padahal di dalam realitas, perempuan terkadang tidak mengasuh anak-anaknya melulu memberikan empati, perhatian, dan lainnya. Ada suatu masa yang mana seorang perempuan juga jengkel pada anak-anaknya, bahkan memarahi mereka. Sedangkan di dalam iklan tersebut, laki-laki dewasa sama sekali tidak berperan untuk memantau proses tumbuh dan berkembangnya anak-anak mereka.

Gómez (2004 dalam Tortajada-Giménez, Araüna-Baró, & Martínez-Martínez, 2013) mengungkapkan bahwa di dalam masyarakat patriarki, mereka menyukai hubungan afektif dan seksual yang menekankan kekuasaan sebagai faktor paling menarik yang dapat dimiliki oleh laki-laki. Sedangkan kecantikan dan sebagai sumber daya paling berharga yang dimiliki oleh perempuan. Sementara Berger (1972 dalam Tortajada-Giménez, Araüna-Baró, & Martínez-Martínez, 2013) menjelaskan bahwa kehadiran sosial seorang laki-laki berada pada soliditas kekuasaannya. Sedangkan pada perempuan, kehadirannya berada pada mendefinisikan apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan padanya.

Jadi, perempuan yang memiliki nilai-nilai keibuan yang tergambar di dalam iklan tersebut hendak memperlihatkan bagaimana dia berperan dan menunjukkan keberadaannya di dalam ruang sosial. Hal ini selaras dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat di dalam panggung belakang (yakni di impian, harapan, bahkan paksaan). Jadi, di situ kita dapat melihat bagaimana konsep dramaturgi yang dijelaskan oleh Goffman bekerja.

Selain hiper-ritualisasi, gagasan Goffman yang menarik selanjutnya adalah mengenai realisme. Goffman menilai bahwa di dalam iklan, terdapat penggambaran adegan yang seolah-olah bisa menjadi nyata, meski kenyataannya tidak. Iklan perlu menampilkan diri untuk terlihat aneh, sehingga refleksi masyarakat menjadi terdistorsi. Di dalam iklan tersebut, terlihat bagaimana penggambaran ruangan, bagaimana mereka berpakaian, dan segala perabot yang terkadang terlihat aneh. Tidak semua orang memiliki barang-barang seperti itu dan tidak semua orang tertarik dengan model seperti itu. Jadi keidealan yang disederhanakan ini menjadi suatu hal yang aneh. Dia hanya menjadi seolah-olah saja, namun tidak terlaksana.

Dari penjelasan di atas, didapatkan suatu simpulan bahwa terjadi dinamika yang menarik antara para audience dengan ilusi yang dibuat oleh ter-hiperritualisasi di dalam interaksi sehari-hari, termasuk di dalamnya terdapat iklan. Iklan-iklan yang mengandung stereotip menjadi harapan normatif, yang perlu diperankan di dalam interaksi sosial, yang merupakan ‘panggung dalam kehidupan nyata’. Iklan berperan di dalam mengambil harapan-harapan di panggung belakang dan melemparkannya ke dalam panggung depan.


Referensi:

39 views0 comments

Коментарі


bottom of page