top of page
Writer's pictureBilly Gustav

Iklan yang Memperdaya Konsumen (Tes Akhir Semester)



Pendahuluan


Periklanan merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan di dalam masyarakat kontemporer. Iklan dapat ditemui di mana saja, mulai dari media massa cetak (seperti koran, tabloid, brosur, dan spanduk), media massa elektronik (seperti televisi dan radio), hingga media massa digital (seperti media sosial dan aplikasi pemutar musik dalam gawai pintar). Langman (2007) menjelaskan bahwa periklanan merupakan sebuah upaya dalam menarik perhatian seseorang mengenai suatu produk atau jasa dengan menggunakan pengumuman berbayar di suatu media massa tertentu. Nantinya periklanan dapat merangsang individu untuk membeli produk maupun jasa yang dipromosikan tersebut.

Istilah periklanan dapat dilacak secara etimologi, yakni advertere dalam bahasa Latin. Kata tersebut dapat diartikan sebagai “untuk mengarahkan perhatian seseorang kepada”. Perhatian inilah yang penting dimiliki oleh seorang penjual. Penjual kemudian memanfaatkannya agar seseorang tertarik untuk membeli produk atau layanan yang diproduksi oleh produsen (Danesi, 2015).

Apabila dilihat dari sejarahnya, perkembangan periklanan tidak bisa lepas dari media massa. Menjelang pergantian abad ke-19 menuju abad ke-20, produk bermerek mulai muncul di pasaran. Langman (2007) kemudian berpendapat bahwa terjadi empat inovasi besar yang terjadi pada tahun 1920-an. Inovasi-inovasi inilah yang nantinya akan berdampak pada periklanan dan masyarakat.

Pertama, seiring menjamurnya industrialisasi, para pekerja yang bekerja di pabrik-pabrik besar mulai mendapat bayaran secara lebih baik. Hasil-hasil yang dikeluarkan oleh pabrik, bisa dalam bentuk produk atau layanan jasa, kemudian dijual untuk para pekerja, dan masyarakat luas. Dari sanalah iklan berkembang untuk “membantu” seseorang dalam membuat pilihan informasi barang yang akan dia beli.

Kedua, pesatnya pertumbuhan radio dan perizinan gelombang udara ke perusahaan swasta membuat para pengiklan untuk berkencimpung di dalamnya (Langman, 2007). Para pengiklan kemudian menjual produknya pada waktu siaran. Kemudian muncul bintang-bintang iklan yang berguna untuk memikat hati pemirsanya dan akhirnya mendorong konsumsi.

Ketiga periklanan kemudian mulai berubah bentuk. Dahulu iklan hanyalah deskripsi tekstual. Sekarang iklan bisa ditampilkan dalam gambar visual. Iklan juga mulai menjual kualitas produk yang bisa membangun dan meningkatkan sifat-sifat tertentu di mata konsumen. Lalu gambar perlahan-lahan menyingkirkan substansi. Orang diajak untuk memercayai bahwa dengan membeli, dirinya bisa menjadi bahagia (Ewen & Ewen, 1982 dalam Langman, 2007).

Selanjutnya pada periode 1920-an, terjadi apa yang dikenal sebagai titik transisi penting. Teknologi produksi massal bergabung dengan hiburan yang dimediasi oleh media massa. Konsumerisme kemudian menyebar, dari yang hanya bisa dinikmati oleh kaum elite, kini bisa dinikmati oleh siapa saja. Kompleksitas produksi baru, periklanan yang dimediasi oleh media massa, dan konsumsi nantinya akan membentuk masyarakat konsumen.

Di tahun 1950-an, kapitalisme telah mencapai titik baliknya dengan kemunculan masyarakat konsumen. Era baru yang dikenal sebagai “kacamata tanpa akhir” dan peristiwa yang dibuat-buat memanipulasi kesadaran dan mendorong kepatuhan massa yang berkiblat pada konsumsi (Boorstin, 1962; Debord 1967, dalam Langman, 2007). Beberapa kritikus iklan berpendapat bahwa iklan mempunyai peran bawah sadar dan memiliki citra agresif yang tersembunyi untuk nantinya mendorong seseorang untuk membeli produk tertentu. Secara sadar maupun tidak, iklan berusaha membangkitkan perasaan dan keinginan tertentu. Hal ini yang juga nantinya mendorong pola gaya hidup seseorang, yang tidak lain adalah pola yang konsumtif dan nantinya dapat memperkuat ideologi kapitalisme.

Dari penjelasan di atas, penulis kemudian tertarik untuk membuat tulisan ini. Tulisan ini mengangkat topik (apa). Pada tulisan ini, penulis akan memaparkan bagaimana dimensi religius dimainkan oleh iklan yang nantinya akan memperkuat ideologi kapitalisme. Selain itu penulis hendak memaparkan bagaimana hari perayaan keagamaan terentu dapat dijadikan suatu batu pijakan oleh pengiklan dalam mempromosikan pesan-pesannya.

Penulis akan mengambil salah satu iklan yang berjudul “Family Portrait: A Joy-filled Christmas Card From Walmart”. Dikutip dari Encyclopedia Britannica, Walmart merupakan salah satu operator perusahaan yang bergerak di usaha retail yang berasal di Bentonville, Arkansas, Amerika Serikat. Selain di Amerika Serikat, Walmart juga membuka pasar internasional. Hal tersebut dibuktikan dengan dibukanya gerai-gerai di Meksiko, Kanada, Jerman, Inggris, dan Tiongkok. Dari sanalah kemudian penulis akan mencoba menganalisis iklan tersebut.


Dimensi Religius pada Iklan Walmart


Iklan berusaha untuk mempertahankan budaya kapitalisme konsumen melalui individu. Iklan kemudian berusaha untuk menggunakan dimensi religius untuk mempertahankan hal budaya kapitalisme konsumen. Adbusters Media Foundation di New York Times mengemukakan bahwa konsumerisme telah menjadi agama nasional di Amerika Serikat (Sheffield, 2006). Ejekan tajam semacam ini menyindir konsumerisme sebagai agama “palsu” dan menunjukkan kepada seseorang bahwa dirinya tidak boleh mengabaikan kontribusi ide-ide religius pada iklan. Ada tiga dimensi religius iklan yang nantinya akan dipaparkan secara tersendiri.

Dimensi pertama adalah iklan sebagai “mediator ilahi”. Sheffield (2006) menjelaskan bahwa umumya mediator bertindak sebagai seorang juru bicara Tuhan. Dia memberikan kepada komunitas apa yang dianggap sebagai arahan ilahi dalam menjalankan kehidupan yang lebih suci dan benar. Posisi mediator di dalam agama sangat penting bagi para pengikutnya untuk memahami siapa atau apa yang ilahi dan bagaimana hubungannya dengan sesama manusia.

Budaya kapitalisme konsumen bergantung pada iklan untuk melakukan rekonsisilasi antara dirinya dengan manusia. Rekonsiliasi ini ditandai dengan individu yang mengonsumsi gambar-gambar iklan. Artinya, konsumen diinformasikan mengenai produk dan penggunaanya melalui serangkaian gambar yang diciptakan oleh iklan. Dengan cara inilah iklan memediasi pesan yang hendak disampaikan konsumerisme kepada umat manusia (Sheffield, 2006).

Periklanan juga bersifat instruktif. Iklan berusaha menujukkan kepada individu bagaimana dirinya menjadi konsumen dengan menggambarkan obyek baru ketika diperkenalkan di pasar. Selain itu iklan juga bertindak sebagai “mediator pengajaran” antara obyek, manusia, dan budaya kapitalisme konsumen.


Gambar 1. Sebuah keluarga besar yang sedang merayakan Natal

Sumber: youtube.com, 2021


Gambar 2. Anak-anak yang diberi pernak-pernik Natal

Sumber: youtube.com, 2021


Gambar 3. Anak-anak yang juga sedang merayakan Natal

Sumber: youtube.com, 2021


Dari ketiga gambar di atas terlihat bahwa para pemeran menampilkan perasaan yang bahagia ketika merayakan Natal. Iklan bertindak sebagai mediator pengajaran yang mana hendak menjelaskan bahwa Natal harus menggunakan pernak-pernik seperti apa, tindakan apa yang harus dikeluarkan, dan bagaimana segala kemeriahan harus tampak di dalam Natal. Natal malah menjadi ajang untuk terus menerus membeli barang-barang yang baru dan meriah. Hal tersebut seakan-akan mengafirmasi apa yang dijelaskan oleh Sallie McFauge. Dia menjelaskan bahwa, kita sebagai manusia menikmati gaya hidup konsmen (Mc Fauge, 2001 dalam Sheffield, 2006). Sebagian besar dari kita bahkan kecanduan dengan gaya hidup ini, meski kerap kali kita menyangkalnya.

Dalam dimensi mediator ilahi, iklan juga bekerja bagi budaya kapitalisme konsumen untuk menyamakan kebutuhan dan keinginan. Melalui ekonomi kapitalis yang berkembang, kebutuhan dikaitkan dengan aspek keinginan, seperti ketidakpuasan, keusangan, dan ketakterhinggan (Meeks, 1989 dalam Sheffield, 2006). Iklan berusaha menggeser kebutuhan dasar, yakni sandang, pangan, dan papan menjadi keinginan-keinginan yang dikenal sebagai “konsumsi mencolok”.

Iklan memberikan ruang bagi sifat alamiah manusia, yakni tidak pernah puas. Cobb (1994 dalam Sheffield, 2006) menjelaskan bahwa orang-orang yang puas akan kebutuhan dasarnya harus diajarkan untuk mempunyai keinginan yang tidak terpuaskan. Individu-individu yang menghargai nilai-nilai spiritualitas di atas nilai-nilai materi harus dibujuk untuk mendahulukan harta benda. Pada akhirnya Meeks (1989 dalam Sheffield, 2006) menyebutkan bahwa manusia menyerahkan diri dan keputusan mereka kepada sesuatu ‘yang tidak terbatas’, yang keduanya dilambangkan dan menyatu di dalam hubungan komoditas.

Hal tersebut terjadi di dalam iklan Walmart ini. Mereka ‘dipaksa’ untuk bahagia bukan dengan caranya masing-masing. Iklan ‘memerintahkan’ individu untuk merayakan Natal dengan pesta, kemeriahan, dan tentunya banyak barang baru. Di satu sisi, iklan tidak bekerja sendirian. Iklan mengamati perilaku masyarakat ketika terjadi perayaan-perayaan tertentu, beberapa dari kelompok masyarakat mengonsumsi barang-barang baru. Jadi iklan berusaha menyalin itu dan menyebarkannya kepada seluruh kelompok masyarakat. Ketika pemahaman ini sudah melembaga karena iklan terus-menerus membanjiri masyarakat, individu menjadi tidak sadar bahwa Natal adalah salah satu perayaan untuk memuaskan segala keinginannya yang tidak terpuaskan, tentunya dengan cara memborong produk-produk baru.

Pembelian akan barang-barang baru ini senada dengan yang dijelaskan oleh Durkheim. Durkheim mengayakan bahwa masyarakat yang membentuk pemaham mengenai totem atau apa yang sakral. Hal yang sakral tersebut ditunjukkan melalui barang-barang baru yang akhirnya memberikan nilai bagi kekosongan hidup manusia (Sheffield, 2006). Kekosongan tersebut dipahami sebagai takdir dari Tuhan, yang mana dia jauh dari Tuhan. Lalu ketika seseorang hendak menujukkan bahwa dirinya berada dalam suatu kelompok yang ‘dipilih’ Tuhan, seseorang kemudian mengonsumsi dan membeli produk. Di sanalah iklan mengambil kesempatan untuk menawarkan kebahagiaan bagi manusia serta menujukkan bahwa dirinya dekat dengan Tuhan.

Dimensi religius kedua yang digunakan oleh periklanan adalah iklan sebagai sakramentalitas. Sakramen berasal dari bahasa Latin yang diambil dari kata sacra atau kudus. Sakramen dipahami sebagai ritual kepercayaan yang dapat memberikan rahmat ilahi. Selain itu sakramen juga merupakan simbol dalam mengkomunikasikan hal-hal yang suci (Sheffield, 2006). Dengan menggunakan dimensi ini, iklan menjadi sebuah sarana yang mena rahmat ilahi ini kemudian diberikan kepada individu saat dia membeli produk.

Sheffield (2006) mengatakan bahwa cara terbaik untuk memahami dimensi sakramental yang ada di dalam periklanan adalah teori konsubstansiasi dan simbolisme yang berkaitan dengan fetshisisme komoditas Marx. Teori konsubstansiasi merupakan teori yang dijelaskna oleh Luther. Tubuh dan darah Kristus secara substansisal berdampingan secara kesatuan dengan roti dan anggur secara fisik. Teori simbolisme mengatakan bahwa tindakan sakramen Ekariste lebih sebagai simbol untuk memperingati tindakan penyelamatan dan kebangkitan Yesus. Sementara istilah fetishisme komoditas merupakan sebuah ejekan yang dijelaskan oleh Marx. Marx mencatat bahwa fetisihisme komoditas dimaksudkan untuk merobek selubung mistifikasi yang membuat anggota kelas pekerja tidak sadar akan penindasan mereka dan perampasan tenaga kerja yang tersembunyi di balik gagasan nilai otonom dari suatu komoditas (Sammond, 2007).

McDannell (1989 dalam Sheffield, 2006) mengatakan bahwa sakramen melampaui simbol. Sakramen memberikan kehidupan yang telah diberikan oleh rahmat totem komoditas. Kehadiran budaya kapitalisme konsumen yang mewujud dalam citra yang ditampilkan oleh iklan memberikan dirinya sebagai simbol rahmat. Iklan juga menggunakan sakramentalitas dalam mengelompokkan individu-individu tertentu ke dalam sebuah kelompok. Kelompok-kelompok ini memiliki obyek ritual dasar dalam bentuk totem. Namun yang dibeli bukanlah obyek atau produk, melainkan identitas dalam kelompok tersebut. Citra yang hendak disampaikan totem pada orang lain yang nantinya akan mengkode identitas seseorang dalam budaya kapitalisme konsumen. Mereka yang dianggap suci dalam budaya kapitalisme konsumen adalah mereka yang kaya dan rakus.


Gambar 4. Ketiga perempuan yang tertawa

Sumber: youtube.com, 2021


Gambar 5. Sebuah keluarga yang ceria sedang berswafoto

Sumber: youtube.com, 2021


Gambar 6. Ketiga perempuan yang gembira dan bergaya di depan cermin

Sumber: youtube.com, 2021


Gambar 7. Seorang ibu yang gembira dan hendak menggambil gambar

Sumber: youtube.com, 2021


Gambar 8. Seorang pasangan suami istri yang berpelukan dan gembira

Sumber: youtube.com, 2021


Dari keempat gambar di atas, iklan Walmart hendak menujukkan bagaimana rahmat kegembiraan yang dihargai (atau yang suci) oleh manusia mewujud ketika mereka membeli barang-barang yang digunakan sebagai penghias suasana Natal. Kekosongan materiil dipandang sebagai suatu masa yang mana terdapat jarak yang jauh dengan Tuhan. Begitu mereka membeli produk-produk yang ditawarkan oleh Walmart, mereka seperti mendapatkan anugerah dari yang ilahi lewat keceriaan-keceriaan. Mereka menjadi seolah-olah dekat dengan Tuhan.

Walaupun begitu, seperti yang dikatakan oleh Marx bahwa fetishisme komoditas mulai merasuk ke dalam masyarakat. Masyarakat menjadi tidak sadar bahwa mereka adalah korban dari gempuran iklan-iklan yang ada di dalam masyarakat. Mistifikasi Natal yang serba meriah dan dihujani dengan berbagai barang membuat manusia telah ditipu. Tenaga kerja yang diperas oleh para perusahaan barang-barang tersebut telah ditutupi dengan rahmat keceriaan.

Dimensi religius yang ketiga adalah iklan memediasi perhatian utama. Pada dimensi ini, periklanan memediasi perhatian utama sejauh dia berpartisipasi dalam budaya kapitalisme konsumen (Sheffield, 2006). Sikap partisipatif tersebut dilihat dari kemampuan periklanan dalam menciptakan dan mempertahankan budaya kapitalisme konsumen dengan menawarkan dirinya untuk dikonsumsi. Konsumerisme ada dan berkembang dengan iklan. Iklan memediasi barang apa yang dibeli oleh konsumen sebagai komoditas-totem. Budaya kapitalisme konsumen inilah sang perhatian utamanya.

Tillich (1963 dalam Sheffield, 2006) mengemukakan bahwa setiap individu akan memperhatikan apa yang dianggapnya sebagai sakral. Institusi dianggap gagal menjadi perhatian utama. Hal tersebut karena mereka tidak mampu “menyediakan keberanian tertinggi dalam mengalahkan kecemasan”. Oleh karena itu, aktivitas pasar eknomi menjadi perhatian utama banyak orang. Pasar ekonomi yang dahulu sekuler menjadi pusat dari yang “suci”.

Akan tetapi iklan tidak memberikan keberanian yang dibutuhkan dalam menghadapi kecemasan dan ketidakberadaan. Iklan justru memberi makna pada obyek yang telah dikosongkan melalui fethisisme komoditas dan mengisinya dengan dimensi religius. Hal tersebut membuat iklan telah menjadi kuat secara budaya. Periklanan menjadi mediator ilahi simbol sakramental yang menggabungkan individu dengan kelompok konsumsi yang menyembah totem sebagai pantulan dari perhatian utama.


Gambar 9. Tagline dalam iklan Walmart

Sumber: youtube.com, 2021


Gambar 10. Tagline dalam iklan Walmart

Sumber: youtube.com, 2021


Gambar 11. Tagline dalam iklan Walmart

Sumber: youtube.com, 2021

Melalui tulisan-tulisan yang hadir di dalam ketiga gambar di atas, iklan berusaha untuk memediasi perhatian utama. Pada gambar yang pertama terdapat kalimat, “This holiday, there’s no halfway.” Kalimat tersebut dapat diartikan sebagai “Liburan ini. Tidak ada setengahnya”. Pada gambar kedua terdapat kalimat, “No holding back.” Kalimat tersebut berarti “Tidak ada keraguan.” Pada gambar yang ketiga terdapat dua kata, yakni “Joy” yang berarti kegembiraan dan “Fully” yang artinya sepenuhnya.

Budaya kapitalisme konsumen berusaha menginginkan agar dirinya tetap menjadi perhatian utama. Iklanlah yang kemudian bertugas sebagai mediatornya. Dengan berbagai tulisan yang dihasilkan oleh iklan Walmart ini, kapitalisme menginginkan agar individu tergiur untuk mendapatkan kegembiraan sepenuhnya, ketidakraguan, dan liburan yang utuh dengan cara membeli produk-produk yang dijual di Walmart.

Ketiga bentuk ini, kegembiraan sepenuhnya, ketidakraguan, dan liburan yang utuh merupakan suatu hal yang penting dan patut dimiliki oleh orang-orang. Ketiga hal ini menjadi suatu yang “suci” dan coba dimediasi secara interaktif oleh iklan. Iklan mengajak individu untuk berpartisipasi aktif dalam memeriahkan Natal sambil melanggengkan budaya kapitalisme konsumen, dengan membeli barang-barang yang ditawarkan Walmart.


Natal dan Ritual Konsumsi


Ritual konsumsi merupakan sebuah hari raya, acara khusus, maupun acara sakral lainnya yang ditandai melalui konsumsi barang, jasa, dan pengalaman secara intensif bahkan berlebihan. Ritual konsumsi berbeda dengan jenis aktivitas konsumsi lainnya yang lebih duniawi (Otnes, 2007). Hal tersebut dikarenakan hari itu merupakan suatu ritual yang melibatkan pertemuan orang-orang yang tidak hadir pada kehidupan sehari-hari. Ritual konsumsi juga sering menampilkan tindakan pertukaran hadiah. Pemberi hadiah biasanya melibatkan komunikasi yang tidak sempurna antara penerima dan pemberi (Belk & Coon, 1993; Ruth et al, 1999: Joy, 2001 dalam Otnes, 2007).

Selanjutnya Dennis Rook mengemukakan bagaimana konsumsi dapat dipahami dari berbagai segi. Pertama adalah artefak ritual. Segi ini berbicara mengena dekorasi khusus, barang-barang khusus yang digunakan. Wellendorf dan Arnould (1991 dalam Otnes, 2007) mengatakan bahwa artefak ritual berusaha mempertahankan posisi sakral secara budaya mengenai apa yang boleh dikonsumsi pada perayaan itu. Kedua adalah naskah riual. Segi tersebut merujuk pada pedoman normatif yang menginstruksikan mengenai cara mengonsumsi artefak ritual.

Segi ketiga adalah peran kinerja ritual. Segi ini merupakan seperangkat perilaku yang digambarkan sesuai maupun tidak sesuai bagi setiap peserta ritual (Otnes, 2007). Keempat, peserta ritual. Hal tersebut merujuk pada pelibatan konsumen yang mungkin tidak terlibat langsung di dalam ritual. Mereka dapat melihatnya dari dekat maupun jauh. Hal tersebut tampak ketika seseorang menonton acara-acara maupun iklan yang ditampilkan melalui medium tertentu, seperti televisi maupun gawai pintar. Sangat dimungkinkan bahwa penonton untuk ritual konsumsi jauh lebih banyak daripada orang-orang yang terlibat secara langsung.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center pada 2017 sebanyak 46% responden yang merupakan orang Amerika Serikat mengatakan bahwa Natal merupakan perawaan keagaman. Hal tersebut turun dari penelitian yang dilakukan pada 2013 yang mengatakan bahwa terdapat 51% responden yang mengatakan bahwa Natal merupakan suatu ritual keagamaan. Jadi bisa disimpulkan bahwa peran agama dalam perayaan Natal di Amerika Serikat mengalami penurunan.

Pada penelitian Pew Research Center tahun 2013 sekitar 86% orang dewasa di Amerika Serikat mengatakan bahwa mereka berniat untuk berkumpul bersama dengan keluarga dan teman-teman mereka pada saat Natal. Sekitar 86% responden juga mengatakan bahwa mereka berencana untuk membeli hadiah pada anggota keluarga lainnya dan teman-temannya.

Dalam penjelasan di atas, terlihat bahwa Natal juga dapat menjadi suatu ritual konsumsi. Artefak ritual terletak pada hadiah yang hanya setahun sekali diberikan atau didapatkan pada saat Natal. Naskah ritual terwujud bagaimana individu memberikan hadiah tersebut, biasanya pada saat malam Natal. Kemudian peran kinerja ritual mengacu pada hal-hal apa yang bisa diberikan kepada kerabat pada saat Natal. Segi yang terakhir adalah peserta ritual. Khalayak umum tidak terlibat dalam suatu iklan yang di dalam ceritanya menujukkan kebahagiaan dan keceriaan dalam merayakan Natal. Namun mereka nantinya akan terlibat dalam ritual konsumsi di dalam masing-masing keluarga mereka.

Di sanalah iklan Walmart menggunakan kultur Natal di Amerika Serikat untuk bisa menggaet pembeli lebih banyak. Danesi (2015) menyebutkan bahwa periklanan kerap kali mengadaptasi tren sosial demi tujuannya. Todarova (2018) mengemukakan bahwa iklan berusaha untuk memprovokasi minat, rasa ingin tahu, keinginan, dan lainnya dari sang penonton. Walaupun begitu iklan bukanlah inovator (Helde, 2015). Menurutnya iklan lebih berminat untuk memperkuat gaya hidup ketimbang menyebarkan inovasi yang nantinya akan menghasilkan risiko yang lebih besar.

Jadi, iklan berusaha untuk menggunakan, mereplikasi keinginan, dan menyebarluaskannya. Keinginan pada saat Natal adalah berkumpul dengan sesama dan memperoleh kegembiraan. Dari sanalah ritual konsumsi iklan juga nantinya berperan dalam memperluas dan memperkuat budaya konsumen. Baudrillard (dalam Kellner & Pierce, 2007) mengemukakan bahwa budaya konsumen merupakan suatu budaya yang mana konsumen memiliki pengertian mengenai kode-kode konsumsi yang menandakan posisi relatif dalam hierarki konsumsi. Jadi terdapat benda-benda mewah yang lebih bergengsi, lebih diinginkan, dan lebih menggoda untuk bisa memberikan kepuasan sosial. Jadi iklan akan bergerak sebisa mungkin untuk terus mempromosikan kode-kode konsumsi agar masyarakat terus membeli komoditas-komoditas tersebut dan nantinya memperkuat kapitalisme.


Simpulan

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa iklan mempunyai tiga dimensi religius, yakni sebagai mediator ilahi, sakramentalitas, dan memediasi perhatian utama. Ketiga dimensi ini diperlukan agar budaya kapitalisme konsumen dapat bertahan dan kuat. Seperti agama, iklan juga berusaha untuk mengisi kekosongan manusia. Iklan juga berusha mengubah makna suatu produk menjadi suatu hal yang sakral. Dalam kasus iklan Walmart, kegembiraanlah yang berusaha dipromosikan oleh iklan.

Selain itu iklan juga berusaha untuk mereplikasi kultur sosial masyarakat Amerika Serikat, yakni Natal. Natal bisa dikenali sebagai suatu perayaan ritual konsumsi. Jadi iklan mencoba untuk mempromosikan poduknya dan melanggengkan kapitalisme dengan mengambil tema Natal.


Referensi



41 views0 comments

Recent Posts

See All

コメント


bottom of page