top of page
Writer's pictureBilly Gustav

Peranan Maskulinitas dalam Iklan Extra Joss


Iklan merupakan salah satu bentuk alat komunikasi yang erat kaitannya dengan perkembangan teknologi. Hal tersebut ditandai dengan berkembangnya media massa hingga berkembangnya internet di tengah masyarakat. Ketika iklan semakin hadir di dalam masyarakat, banyak topik hangat yang dapat dibincangkan (Puteri, 2017). Iklan dipakai oleh perusahaan untuk memasarkan produk-produk yang hendak mereka jual. Untuk mendatangkan banyak pelanggan, perusahaan perlu memutar otak, menciptakan hal-hal yang dapat mempersuasi masyarakat.

Iklan kemudian tidak hanya sekadar alat untuk mencitrakan sebuah produk. Iklan juga berperan sebagai media yang menyebarkan gaya hidup, imaji, dan ideologi. Di dalam iklan, tanda-tanda dimainkan dan imaji-imaji dapat diubah oleh bahasa melalui wacana yang ada di dalam masyarakat (Winata, 2012). Di dalam masyarakat, ideologi yang dominan adalah patriarki. Dari sana, iklan dibentuk sebagai sarana untuk melanggengkan budaya patriarki dan kepentingan sang produsen, yakni kapitalisme.

Senada dengan penjelasan sebelumnya, Wernick (1991 dalam Kurnia, 2004) menjelaskan bahwa iklan berfungsi sebagai alat untuk media promosi budaya, yang di dalamnya iklan menjadi sarana bagi ekspresi ideologi dan ekspresi simbolik budaya. Iklan kemudian bisa menjadi wacana di dalam masyarakat karena iklan bermain di area dunia tanda dan bahasa. Citra yang iklan tampilkan dibentuk sedemikian rupa hingga menjadi suatu mimpi yang ditawarkan.

Ideologi patriarki sendiri bisa diartikan sebagai sistem sosial yang mendukung dominasi laki-laki, menempatkan laki-laki sebagai pusat, dan memberi hak-hak istimewa bagi laki-laki. (Nadya, Maryam, & Nadya, 2020). Patriarki juga mengatur peran yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Laki-laki ditempatkan di area publik dengan perannya, yakni maskulinitas. Sedangkan perempuan ditempatkan di area domestik dengan feminitas sebagai perannya.

Dari sanalah penulis tertarik untuk melihat dan menganalisis iklan yang berkaitan dengan maskulinitas pria. Iklan yang akan penulis gunakan adalah iklan yang diproduksi oleh salah satu produsen produk minuman energi. Iklan tersebut menggunakan citra-citra simbolik yang nantinya akan menjadi kekuatan hegemonik dalam menyebarkan dan melestarikan ideologi patriarki yang menempatkan maskulinitas menjadi aspek yang dominan ketimbang feminitas.


Gambar 1. Latar iklan di pabrik galangan kapal

Sumber: youtube.com, 2021


Gambar 2. Tiga orang buruh pabrik galangan kapal

Sumber: youtube.com, 2021


Gambar 3. Tiga pria yang bersusah payah memotong pipa besi

Sumber: youtube.com, 2021


Iklan produk minuman berenergi memperlihatkan berbagai stereotip mengenai citra maskulinitas laki-laki . Susan Bordo (Kurnia, 2004) menjelaskan bahwa laki-laki kerap kali dicitrakan sebagai makhluk yang jantan, berotot dan berkuasa. Fowles (1996 dalam Kurnia, 2004) menambahkan bahwa karakter maskulinitas berkisar pada karakter yang aktif, agresif, rasional, dan tidak bahagia. Keaktifan inilah yang membuat pengiklan berusaha untuk menempatkan laki-laki pada latar tempat yang biasanya berada di tempat publik. Tempat publik dirasa lebih ‘pas’ bagi laku-laki.

Di dalam iklan tersebut, terlihat bahwa latar tempat yang digunakan adalah di pabrik galangan kapal. Mereka dicitrakan sebagai laki-laki yang tangguh dan memikul beban pekerjaan yang berat, seperti mengelas besi atau memotong pipa-pipa besi yang berukuran panjang. Mereka juga dicitrakan sebagai individu-individu yang aktif dan terkadang tidak bahagia.


Gambar 4. Tiga laki-laki yang sedang minum minuman berwarna ungu

Sumber: youtube.com, 2021


Gambar 5. Seorang laki-laki yang meminum minuman berenergi

Sumber: youtube.com, 2021


Gambar 6. Laki-laki yang meminum minuman berenergi dapat mematahkan pipa besi

Sumber: youtube.com, 2021


Gambar 7. Tiga laki-laki yang bersemangat setelah meminum minuman berenergi

Sumber: youtube.com, 2021


Kemudian kita akan beralih bagaimana maskulinitas hadir dalam ciri-ciri fisik tokoh. Kretschmer (Suprapto, 2018) menjelaskan ada hubungan yang erat antara tipe tubuh dengan watak dan sifatnya. Tipe pertama adalah individu yang memiliki tubuh atletis, yakni tinggi, besar, otot kuat, kekar dan tegap, dan memiliki dada yang lebar. Orang yang memiliki tubuh ini biasanya memiliki watak yang disebut schizothim, yakni sukar bergaul, memiliki kebiasaan yang tetap, sukar menyesuaikan diri dengan situasi baru, kelihatan sombong, egoitis, dan bersifat selalu ingin menguasai. Mereka juga diketahui sebagai individu yang selalu berpikir dahulu sebelum bertindak.

Tipe kedua adalah astenis. Individu yang termasuk dalam tipe ini adalah mereka yang memiliki tubuh tinggi, kurus, tidak kuat, bahu sempit, serta memiliki lengan dan kaki yang kecil. Berkaitan dengan watak, orang-orang yang memiliki tipe tubuh astenis memiliki watak yang sama dengan tipe atletis. Tipe ketiga adalah piknis. Mereka memiliki watak yang disebut siklothim. Pada watak tersebut ditemukan bahwa mereka memiliki sifat-sifat yang mudah bergaul, suka humor, kerap kali dapat berubah-ubah stemming-nya, mudah menyesuaikan diri dengan situasi baru, kurang setia dan terkadang tidak konsekuen, serta dapat memaafkan kesalahan orang lain (Suprapto, 2018).

Dalam iklan tersebut terlihat bahwa para aktor adalah laki-laki dewasa yang memiliki tubuh dengan tipe atletis. Tiga aktor utama terlihat mengalami kelelahan setelah bekerja. Mereka meminum minuman berwarna ungu. Lalu muncul suara yang mengatakan, “Laki minum rasa-rasa, ya gak laki. Harusnya...” Kemudian muncul sosok baru dengan rupa wajah yang tegas dan bertubuh atletis pula. Dia mengatakan, “Laki minum Extra Joss!” Dari intonasi suaranya, penulis merasa bahwa apa yang dijelaskan Kretschner cukup sesuai, yakni laki-laki yang memiliki watak kelihatan sombong, egoitis, dan selalu ingin menguasai.

Terkait dengan tubuh yang atletis, Rohlinger (2002 dalam Kurnia, 2004) menjelaskan bahwa di era post-industrial ini, para pengiklan berlomba-lomba untuk mencari pasar yang baru. Mereka menggunakan citra erotis laki-laki yang maskulin. Citra erotis ini memperlihatkan maskulinitas laki-laki melalui penampakan fisik yang ideal, yakni figur laki-laki yang atraktif sekaligus berotot. Citra inilah yang dibentuk sedemikian rupa hingga menjadi ‘pajangan’ dalam suatu iklan. Wibowo (2004 dalam Kurnia, 2004) menjelaskan bahwa iklan merupakan alat sihir. Salah satu kekuatan sihir ini ditandai melalui ekspresi maskulinitas dalam budaya pop. Iklan bisa dianggap sebagai penerus tongkat estafet maskulinitas a la Yunani dan juga Romawi. Perlu diketahui pula bahwa maskulinitas yang ada di dalam kedua budaya kuno tersebut ditampilkan sebagai mereka yang tampan, gagah, berotot, perkasa, serta pandai (Kurnia, 2004). Potret fisik laki-laki tidak lagi hanya sekadar sebagai tanda dominasi pria, melainkan juga simbol maskulinitas kapitalistik dalam pengertian yang lebih luas. Dominasi laki-laki dewasa ini dapat dilihat dari otot dan keperkasaannya, tubuh kekar hingga wajahnya yang tampan. Semuanya itu menjadi nilai jual bagi laki-laki.

Kurnia (2004) juga menjelaskan hasil identifikasi dari lima karakter maskulinitas yang diterbitkan oleh Media Awareness NetWork. Penulis hanya menyodorkan satu karakter saja. Pertama, mentalitas cave man. Dalam karakter ini, keagresifan dan kekerasan laki-laki dicitrakan sebagai sesuatu yang wajar dengan sifat alamiah mereka. Mereka ditampilkan dengan sikap jantan, mandiri, dan melakukan aktivitas fisik yang menantang dan mendekati bahaya. Seperti yang ditampilkan dalam iklan tersebut, semua aktor pria bekerja di sebuah pabrik galangan kapal. Tempat tersebut merupakan area kerja yang berat dan terkadang menantang maut. Hal ini ingin menunjukkan bahwa laki-laki ‘harus’ bersikap jantan dengan bekerja di jenis pekerjaan yang berat.

Maskulinitas ini bisa kita bawa pada analisis Gramcsi mengenai hegemoni. Salah seorang penafsir gagasan Gramsci, Ransome, membedakan antara pengendalian koersif yang memerlukan kekuatan langsung atau ancaman, dengan pengendalian konsensual melalui individu-individu yang “secara sukarela atau sengaja” mengasimilasikan pandangan dunia atau hegemoni kelompok dominan (Dominic, 2004 dalam Winata, 2012). Penerimaan tersebut berlangsung memalui konsensus atau konsesi, yang mana kelompok subordinat menerima konsesi-konsesi dari kelompok dominan.

Hal tersebut hendak menjelaskan bahwa budaya populer dan media massa tunduk pada produksi, reproduksi, dan transformasi hegemoni yang berlangsung melalui berbagai kelompok masyarakat sipil yang mencakup berbagai bidang produksi dan konsumsi kultural (Winata, 2012). Institusi-institusi tersebut mewujud pada pendidikan, keluarga, gereja (agama), media massa, budaya populer, dan lain sebagainya (Dominic, 2004 dalam Winata, 2012). Karena iklan merupakan suatu bentuk dari media massa, dia juga berperan dalam memperkuat cengkeraman ideologi yang dominan di masyarakat, yakni patriarki dan maskulinitas. Iklan terus menerus disiarkan di platform tertentu. Dalam kasus ini adalah di televisi. Penonton tidak sadar bahwa dirinya sedang ter-hegemoni dan nantinya mereka sendiri yang akan memperkuat hegemoni tersebut bahwa laki-laki harus berbadan besar, berani, mandiri, tidak memble, dan bekerja pada area-area yang penuh tantangan.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa iklan memunculkan makna-makna bagi masyarakat melalui berbagai citra yang dirinya tampilkan. Selain itu iklan juga berguna untuk menyebarkan ideologi yang dominan di masyarakat, seperti patriarki, terutama pada maskulinitas. Maskulinitas dalam iklan hadir pada fisik laki-laki yang berotot dan bekerja dalam pekerjaan yang menantang maut. Ketika iklan tersebut terus menerus hadir dan ditonton oleh penonton, maka secara tidak langsung mereka akan terhegemoni. Pada akhirnya maskulinitas tetap menjadi gagasan yang kokoh dalam masyarakat.


Referensi:

19 views0 comments

Comments


bottom of page