top of page
Writer's pictureBilly Gustav

Analisis Semiotika Iklan #NginepMakinSeru di Vila, Resort, dan Glamping Bareng Traveloka


Kedudukan laki-laki maupun perempuan sering kali dibedakan dari kondisi jenis kelamin (seks) mereka. Distingsi tersebut berimbas pada bagaimana individu memainkan perannya di dalam masyarakat. Pandangan seperti ini membuat kedudukan keduanya menjadi tidak seimbang bahkan menimbulkan ketidakadilan.

Di dalam keluarga-keluarga Indonesia, pasangan suami-istri seringkali melakukan sosialisasi bagaimana seseorang melakukan perannya, baik di dalam keluarga itu sendiri maupun di dalam masyarkat luas. Keluarga-keluarga baik langsung maupun tidak langsung memberikan “baju” bagi anak laki-laki dan perempuan secara berbeda. Anak laki-laki terkadang diminta untuk membantu orang tuanya dalam hal-hal tertentu saja, bahkan kerapkali diberi kebebasan untuk tidak dibebani tanggung jawab tertentu dan juga dalam hal bermain (Pratiwi & Wiyanti, 2017). Sebaliknya, anak perempuan dibebani tanggung jawab untuk mengerjakan hal-hal yang sifatnya domestik. Hal tersebut nantinya akan menempatkan perempuan di posisi nomor dua.

Dalam penelitian kecil ini, peneliti akan menganalisis bagaimana iklan juga bisa membentuk cara pikir timpang tersebut di dalam masyarakat. Iklan menujukkan bagaimana bentuk budaya komunikasi sosial dapat menciptakan makna melalui citra visual non-diskursif yang datang dan membentuk kesadaran dan perilaku secara halus. Di sini iklan berusaha untuk menyetujui bentuk-bentuk pemikiran dan perilaku sambil mendelegitimasi pemikiran dan perilaku lainnya. Pada akhirnya, iklan akan menghadirkan cira perilaku dan panutan yang pantas maupun tidak pantas bagi laki-laki dan perempuan.

Untuk dapat mengenali citra-citra yang terkandung di dalam iklan, maka seseorang perlu mengenal semiotika. Semiotika dapat disebut sebagai metode membaca yang digunakan oleh seseorang dalam melihat suatu iklan yang sedang ditontonnya. Semiotika juga dianggap sebagai cara seseorang untuk membuka makna tersembunyi yang ada di dalam suatu iklan (Kurniawan, 2001 dalam Pratiwi & Wiyanti, 2017). Unit dasar dari semiotika adalah tanda. Maka semiotika juga mempelajari tanda.

Metode yang akan dipakai adalah metode semiotika yang diperkenalkan oleh Charles S. Peirce melalui segitiga makna. Segitiga makna ini terdiri dari sign (tanda), object (obyek), dan interpretant (interpretan). Sobur (2009 dalam Pratiwi, 2015) menjelaskan bahwa salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan obyek merupakan sesuatu yang ditujuk oleh tanda. Kemudian interpretan merupakan tanda yang ada di dalam benak seseorang mengenai obyek yang dirujuk oleh tanda. Ketika ketiga elemen ini berinteraksi di dalam benak seseorang, maka muncullah makna mengenai suatu hal yang diwakili oleh tanda tersebut.

Dalam penelitian ini, peneliti akan meniliti sebuah iklan yang diproduksi oleh Traveloka. Traveloka merupakan salah satu perusahaan yang menawarkan layanan bagi seseorang untuk berpariwisata. Walaupun kerap kali pariwisata diidentikan dengan keceriaan, penulis akan memaparkan sekelimit makna yang justru menujukkan ketimpangan peran laki-laki dan perempuan di dalam keluarga.

Adapun analisis iklan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

Ada dua hal yang hendak peneliti sampaikan mengenai makna yang terdapat di dalam iklan ini. Pertama soal manipulasi. Adorno dan Horkheimer menjelaskan di dalam esainya mengenai industri budaya. Iklan memanipulasi konsumen untuk dapat membelanjakan uangnya untuk membeli barang. Produk menawarkan sensasi murah yang memberikan kesenangan sebagai suatu kompensasi bagi seseorang setelah seharian melewati pekerjaan yang melelahkan. Iklan berusaha memainkan kerentanan emosisonal konsumen dengan menawarkan kepuasan yang instan.

Hal tersebut terjadi ketika di masa pandemi Covid-19 seperti ini seseorang dibatasi untuk beraktivitas di luar rumah. Begitu pemerintah mulai mengendurkan larangan bepergian, maka Traveloka tidak akan melewatkan kesempatan untuk dapat menarik konsumennya. Maka dia bergerak dengan cara membuat iklan, bagaimana mereka menawarkan layanan bayar pada saat check-in dan layanan wisata lainnya. Mereka mengambil kesempatan dengan memanfaatkan kondisi emosional masyarakat, terutama kaum menengah, yang bosan menjalani kehidupannya di rumah (dengan adanya anjuran bekerja dari rumah atau WFH). Dengan menampilkan wajah para pemeran yang akrab dan gembira ketika mereka dapat berwisata sepuasnya, orang-orang akan termanipulasi. Mereka berpikir bahwa “saya juga bisa mendapatkannya” dan akhirnya menggunakan jasa Traveloka.

Kedua, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di awal, masyarakat masih berpandangan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang berbeda. Citra laki-laki yang lebih unggul ini ditunjukkan bagaimana seorang ayah memegang kontrol atas seluruh anggota keluarga (Pratiwi & Wiyanti, 2017). Hal ini terlihat di dalam iklan ketika sang ayah membayar biaya akomodasi sebuah hotel dan sang ibu menunggu di belakang. Selain itu di dalam penggambaran saat keluarga tersebut berlibur, sosok ayah lebih ditunjukkan secara lebih jelas ketimbang perempuan. Perempuan berada di dalam posisi yang sedikit blur dan berada di belakang laki-laki. Posisi sang ibu terlihat jelas ketika dia berkumpul dengan kedua anaknya di dalam ruangan. Hal tersebut malah menegaskan bahwa posisi perempuan lebih banyak di dalam urusan domestik ketimbang di ranah publik.

Sosialisasi gender antara laki-laki dan perempuan juga ternyata mewujud dari cara seseorang menentukan warna pakaiannya. Di dalam iklan tersebut terlihat bahwa para perempuan dominan memakai baju berwarna merah muda. Warna tersebut identik dengan warna feminin. Wana merah muda memberi kesan perasaan yang lembut, penuh kasih sayang, serta perhatian. Sebaliknya warna dominan dari para laki-laki adalah biru. Warna biru memberikan kesan yang cenderung cerdas, mandiri, serta pekerja keras. Persepsi inilah yang akhirnya dibakukan oleh masyarakat. Perempuan perlu menampilkan peran yang lemah lembut dan penyayang. Sedangkan laki-laki perlu memainkan peran sebagai manusia yang mandiri, cerdas, dan pekerja keras.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa peran perempuan yang inferior masih terpelihara di dalam masyarakat. Iklan juga bertanggung jawab atas pelestarian persepsi tersebut. Hal ini membuat iklan tidak bisa lepas dari situasi budaya masyarakat tertentu. Iklan Traveloka yang berusaha mempromosikan keceriaan keluarga malah jatuh pada hadirnya diskriminasi terhadap perempuan.


Referensi:

.

57 views0 comments

Comments


bottom of page