top of page
Writer's pictureBilly Gustav

Dampak Iklan bagi Masyarakat

Setiap hari kita tidak pernah bisa lepas dari iklan, baik di televisi, media sosial, bahkan aplikasi musik yang setiap harinya menawarkan paket premium. Iklan menjadi hal yang biasa dalam masyarakat modern. Namun apakah kita sadar bahwa iklan memiliki pengaruh dalam hidup kita?


Periklanan merupakan upaya untuk menarik perhatian seseorang atas suatu produk atau jasa dengan menggunakan pengumuman berbayar di media massa yang nantinya dapat mendorong seseorang untuk dapat membeli produk maupun jasa tersebut (Ritzer (Ed.), 2007). Apabila kita tengok sejarahnya, iklan mulai berkembang terutama setelah munculnya literasi yang berbasis percetakan dan surat kabar. Iklan akhirnya menjadi erat kaitannya dengan perkembangan media massa.


Pada pergantian abad kesembilan belas menuju abad kedua puluh, muncul produk konsumen bermerek. Kemudian Langman (Ritzer (Ed.), 2007) berpendapat bahwa terdapat empat inovasi besar yang terjadi pada 1920-an, yang nantinya akan berdampak pada periklanan dan masyarakat:

  1. Dengan semakin menjamurnya industrialisasi, para pekerja yang bekerja di pabrik-pabrik besar mulai dibayar dengan lebih baik. Hasil-hasil yang dikeluarkan oleh pabrik, bisa dalam bentuk produk atau layanan jasa, nantinya dijual tidak hanya untuk para pekerja, tetapi juga ke publik. Oleh karena itu, iklan berkembang untuk “membantu” seseorang dalam membuat pilihan informasi.

  2. Dengan semakin pesatnya pertumbuhan radio dan perizinan gelombang udara ke perusahaan swasta, mereka mulai menggaet pengiklan untuk masuk dan menjual produknya pada waktu siaran. Kemudian muncul bintang-bintang iklan yang berguna untuk memikat hati pemirsanya dan akhirnya mendorong konsumsi.

  3. Periklanan mulai berubah bentuk, dari yang hanya berupa deskripsi tekstual menjadi gambar visual. Iklan juga mulai menjual kualitas produk yang bisa membangun dan meningkatkan sifat-sifat tertentu di mata konsumen. Gambar perlahan-lahan menyingkirkan substansi. Orang menjadi percaya bahwa dengan membeli, dirinya bisa menjadi bahagia (Ewen & Ewen, 1982 dalam Ritzer (Ed.), 2007).

  4. Pada periode 1920-an ini terjadi apa yang dikenal sebagai titik transisi penting, yang mana teknologi produksi massal bergabung dengan hiburan yang dimediasi massa. Konsumerisme menyebar dari yang hanya bisa dinikmati oleh elite menjadi bisa dinikmati oleh siapa saja. Kompleksitas produksi baru, periklanan yang dimediasi oleh media massa, dan konsumsi nantinya akan membentuk masyarakat konsumen.

Pada tahun 1950-an, kapitalisme telah mencapai titik baliknya yakni dengan hadirnya masyarakat konsumen. Era baru yang dikenal sebagai “kacamata tanpa akhir” dan peristiwa yang dibuat-buat memanipulasi kesadaran dan mendorong kepatuhan massa yang berkiblat pada konsumsi (Boorstin, 1962; Debord 1967, dalam Ritzer (Ed.), 2007). Beberapa kritikus iklan berpendapat bahwa iklan memiliki peran bawah sadar dan/atau citra seksual/agresif tersembunyi yang mendorong seseorang untuk membeli produk tertentu. Secara sadar atau tidak, iklan membangkitkan perasaan dan keinginan tertentu. Hal ini yang juga nantinya mendorong pola gaya hidup seseorang, yang tidak lain adalah pola yang konsumtif.


Selain gaya hidup, iklan juga mendorong seseorang mengidentifikasi dirinya sesuai apa yang dirinya gunakan. Kelas sosial yang lebih atas, seperti pendidikan dan pendapatan, memainkan peran utama dalam apa yang menentukan selera estetika mana yang akan dihargai. Langman (Ritzer (Ed.), 2007) mencontohkan sebuah iklan yang mana produk terbaru dari salah satu perusahaan pakaian yang menjadikan Jennifer Lopez, Jaclyn Smith, atau Paris Hilton sebagai modelnya. Dengan hadirnya iklan-iklan ini, konsumen dapat membayangkan bahwa ketika dirinya berpakaian yang dikeluarkan oleh perusahaan tersebut, dia dapat membayangkan seperti bintang-bintang glamor seperti ketiga artis tersebut.


Hal tersebut bisa kita kaitkan dengan teori yang analisis Haugh dan Baudrillard. Haugh menjelaskan bahwa iklan membentuk estetika komoditas. Maksudnya adalah iklan dapat membentuk nilai-nilai, persepsi, dan perilaku konsumen individu ke dalam masyarakat kapitalis kontemporer. Dari perilaku-perilaku yang dialami oleh individu selanjutnya diintegrasikan ke dalam gaya hidup kapitalisme yang konsumtif. Estetika komoditas menggunakan estetika atau keindahan untuk menjual produk dan kapitalisme konsumen.


Sementara analisis Baudrillard mengenai ledakan estetika dan komodifikasi dalam masyarakat kapitalis kontemporer memberikan estetika komoditas dan komodifikasi seni dan estetika. Komoditas membentuk sistem barang dan jasa yang terorganisir secara hierarkis, yang berfungsi sebagai tanda yang menunjukkan posisi seseorang di dalam suatu sistem. Konsumen memiliki rasa kode konsumsi yang menandakan posisi hierarki konsumsi.


Kemudian kita bisa memunculkan pertanyaan seperti ini, apakah konsumsi membawa kebahagiaan pribadi yang dijanjikan oleh iklan? Aristoteles dan Tolstoy memperingatkan bahwa keinginan manusia itu tidak pernah terpuaskan (Ritzer (Ed.), 2007). Kekayaan dan harta benda tidak dapat membawa kebahagiaan. Di sini iklan menjanjikan bahwa konsumsi akan memberikan diri yang ideal dan orang-orang sangat bahagia ketika bisa meraihnya. Akan tetapi, konsumsi tidak pernah memuaskan. Orang-orang terus membeli barang dengan harapan ketika dia membeli sesuatu, inilah yang bisa memperbaiki dirinya dan nantinya bisa mencapai kebahagiaan.


Salah satu kritik iklan dan konsumtivisme yang bertahan adalah kritik dari kaum kiri. Mereka melihat bahwa budaya massa yang didominasi oleh iklan menjadikan suatu aspek penting dari dominasi yang hanya menopang kepentingan kelas penguasa. Sementara itu, mayoritas orang tidak hanya dieksploitasi dan diasingkan, tetapi juga “bodoh” dan terlibat secara aktif dalam mereproduksi penaklukan atas diri mereka sendiri. Konsumtivisme tidak hanya memberikan keuntungan bagi sistem ekonomi, namun juga mengamankan hegemoni politik. Hal tersebut dikarenakan konsumtivisme menjebak orang ke dalam sistem yang tidak berkesudahan.


Marcuse (1964 dalam Ritzer (Ed.), 2007) menjelaskan bahwa iklan menghasilkan kebutuhan buatan yang dapat dipuaskan dengan konsumsi. Hal ini menumbuhkan perhatian yang berlebihan terhadap diri sendiri dan juga kesenangan diri. Muncul keegoisan yang menyebabkan seseorang tidak peduli terhadap biaya sosial dan konsekuensi pada tingkat komunitas yang lebih besar. Iklan juga memupuk pemikiran satu dimensi yang malah mengikis kekuatan nalar untuk berpikir kritis. Ketika seseorang tidak kritis, maka orang itu menyerahkan dirinya pada dominasi pihak lain.


Sementara itu Schudson (1984 dalam Ritzer (Ed.), 2007) dalam penelitian mengenai iklan-iklan di Amerika berpendapat bahwa fungsi periklanan tidak melulu untuk menjual barang. Iklan juga mempromosikan “realisme Amerika”. Realisme Amerika merupakan sebuah gagasan yang berisikan “cara hidup orang Amerika” yang menyediakan lebih banyak barang-barang material daripada masyarakat dunia yang lain.


Iklan juga memperkuat stereotip-stereotip di masyarakat. Salah satunya adalah stereotip mengenai kecantikan. Stereotip yang selalu digembar-gemborkan inilah yang membuat perempuan menjadi tidak percaya diri dan membenci tubuhnya (Handoyo, 2016). Perempuan kemudian membenci wajahnya yang kurang cantik, tubuhnya yang terlalu gemuk, dan lainnya. Kemudian perempuan menjadi pemimpi. Mimpinya adalah tubuh yang ideal yang malah diproduksi oleh industri. Selain membentuk sesuatu yang “ideal”, iklan juga menjadi alat pengkotak-kotakan. Pengkotak-kotakan ini terjadi pada perempuan mana yang dianggap berwajah cantik, mana yang berwajah pas-pasan. Hal tersebut juga menyasar pada warna kulit seseorang, mana yang berkulit putih, mana yang berkulit hitam.


Busby dan Leichty (dalam Handoyo, 2016) berpendapat bahwa tubuh perempuan digunakan sebagai simbol untuk menciptakan suatu citra pada produk tertentu, atau minimalnya berfungsi sebagai latar dekoratif dari suatu produk. Perempuan menjadi terdiskriminasi oleh iklan-iklan. Tubuh perempuan dipotong-potong (misal hanya paha, wajah, rambut, paha, pinggul, dan lain sebagainya) untuk diproduksi menjadi tanda-tanda yang nantinya dapat membentuk citra, makna, dan identitas di dalam sebuah iklan.


Dari penjelasan di atas, penulis mengambil beberapa hal yang dapat dijadikan simpulan. Semakin berkembangnya media, iklan semakin kuat dalam menunjukkan keberadaannya. Iklan tidak hanya menjadi penyedia informasi dari sebuah produk, tetapi juga memproduksi pikiran masyarakat. Iklan menjadi ruang bagi manusia untuk terus menerus haus akan kebutuhan-kebutuhan palsu.


Iklan yang dianggap memberikan kebahagiaan lewat konsumsi terus menerus membuat kritikus bangkit dan melawan. Mereka melihat iklan sebagai kendaraan kaum kapitalis untuk terus menghegemoni mayoritas orang dengan tanda, pembentukan identitas, dan konsumtivisme. Iklan yang juga bisa menjadi cermin masyarakat, memperkuat status quo atau mendominasi pihak lain, salah satunya adalah wanita dan tubuhnya.


Referensi:

50 views0 comments

Comments


bottom of page