Kita tidak pernah bisa lepas dari iklan, mulai dari iklan-iklan yang hadir di televisi, media sosial, bahkan aplikasi-aplikasi yang ada di telepon pintar kita. Iklan menjadi suatu hal yang biasa dialami oleh masyarakat modern. Namun tanpa disadari, iklan memiliki kekuatan yang hampir setara dengan agama. Sebagian besar orang menerima pesan-pesan iklan mentah-mentah, seperti ketika menerima pesan-pesan yang diajarkan oleh agama (taken for granted). Iklan memiliki dimensi keagamaan yang memperkuat suatu pesan (wahyu) tertentu.
Pada kesempatan kali ini, penulis mencoba untuk memaparkan dimensi-dimensi keagamaan yang ada di dalam iklan. Iklan yang dipakai sebagai landasan analisa merupakan iklan yang dikeluarkan oleh Lazada Filipina. Menurut penulis, iklan ini sangat menunjukkan bagaimana iklan bisa menjadi sarana yang penting untuk menyampaikan pesan-pesan budaya kapitalis bagi masyarakat.
Dimensi religius iklan yang pertama adalah iklan sebagai “mediator ilahi”. Budaya kapitalisme konsumen sangat bergantung pada iklan untuk “mendamaikan dirinya” dengan individu-individu audience (Sheffield, 2006). Melalui iklan, konsumen diinformasikan mengenai produk dan penggunaannya melalui beragam gambar yang disajikan oleh iklan. Iklan memiliki sifat instruktif, yakni berusaha untuk memberi tahu konsumen untuk mengerti nilai-nilai yang ada di dalam suatu produk dan mereka bisa menjadi “manusia yang seutuhnya” ketika mereka menggunakan produk tersebut.
Gambar 1. Sekelompok orang yang sedang merayakan Christmas dengan menghias ruangan
Sumber: youtube.com, 2021.
Gambar 2. Dua orang wanita yang tampak kaget ketika mereka mendapatkan barang-barang lagi dari Lazada
Sumber: youtube.com, 2021.
Gambar 3. Seorang wanita yang sangat senang mendapat “hadiah baru” dari Lazada
Sumber: youtube.com, 2021.
Dari ketiga gambar di atas, terlihat bahwa para tokoh menampilkan adegan yang menunjukkan perasaan bahagia ketika mereka membeli barang-barang yang ditawarkan oleh Lazada. Kebetulan iklan ini merupakan iklan yang bertemakan Christmas Sale. Jadi akan ada banyak potongan harga yang ditawarkan oleh Lazada. Hal tersebut seolah mengafirmasi apa yang dijelaskan oleh Sallie McFauge (2001 dalam Sheffield, 2006) bahwa kita (manusia atau masyarakat) menikmati gaya hidup konsumen. Sebagian besar dari kita bahkan kecanduan dengan gaya hidup ini, walaupun kadang kala kita kerap menyangkalnya.
Iklan juga bertindak sebagai mediator bagi budaya kapitalisme konsumen dalam hal menyamakan kebutuhan dengan keinginan. Meeks (1989 dalam dalam Sheffield, 2006) menjelaskan bahwa lewat ekonomi kapitalis industri yang terus berkembang, kebutuhan akan dikaitkan dengan apa yang pernah dianggap sebagai aspek keinginan, seperti keusangan, ketidakterpuaskan, dan ketidakterhingaan. Kebutuhan dasar, yakni sandang, pangan, dan papan menjadi tergantikan dengan keinginan-keinginan yang dikenal dengan “konsumsi mencolok” (Meeks, 1989 dalam dalam Sheffield, 2006). Iklan memberikan tempat sifat alamiah manusia, yakni tidak pernah puas. Pemahaman tersebut akan semakin menguat manakala terdapat anggapan bahwa segala kesuksesan yang ditandai dengan kepemilikan atas beragam barang menjadi tanda kasih sayang dari Tuhan. Iklan mengindoktrinasi orang-orang yang dahulu menghargai nilai-nilai spiritual di atas nilai-nilai material menjadi orang-orang yang tidak pernah puas (Cobb, 1994 dalam Sheffield, 2006).
Sementara Durkheim beranggapan bahwa masyarakatlah yang membentuk pemahaman mengenai apa yang sakral (totem). Pada masa ini, hal yang sakral tersebut mewujud pada barang-barang yang dapat memberikan nilai bagi kekosongan hidup manusia. Iklan menawarkan kebahagiaan bagi manusia, asalkan membeli produk-produk yang mereka promosikan.
Dalam iklan ini ditunjukkan bagaimana budaya kapitalisme konsumen menggeser pemahaman akan Natal menjadi suatu perayaan yang identik dengan barang-barang baru. Mereka perlu berlomba-lomba untuk membeli barang-barang baru lewat Christmas Sale. Tema sale ini bisa dipahami sebagai suatu wadah bagi kerakusan manusia untuk terus menerus membeli barang, memuaskan kebutuhan yang tidak terpuaskan. Pemahaman Natal yang identik dengan barang-barang baru ini juga dilembagakan oleh masyarakat. Pada setiap kesempatan Natal, seseorang akan dibanjiri iklan-iklan mengenai potongan harga atau penawaran murah. Begitu pemahaman ini sudah melembaga, individu menjadi tidak sadar bahwa makna Natal adalah sebagai waktu untuk memborong produk-produk dan akhirnya dapat memuaskan keinginannya.
Dimensi kedua dari iklan adalah iklan sebagai Sakramentalitas. Sakramentalitas mengambil akar kata dari bahasa Latin, sacra, yang berarti kudus atau suci. Sakramen merupakan tanda atau upacara untuk mengkomunikasikan hal yang suci. Suci berarti diunggulkan atau dipuja. Di dalam budaya kapitalisme konsumen, iklan hadir untuk memberikan citra atau “simbol rahmat” bagi semua yang mengambil bagian dari komoditas-totem (Sheffield, 2006). Citra-citra inilah yang dianggap masyarakat sebagai aspek-apek yang dihargai oleh mereka.
Gambar 4. Tiga orang yang saling memamerkan barang beliannya.
Sumber: youtube.com, 2021.
Gambar 5. Keluarga yang mempersiapkan jamuan malam bersama
Sumber: youtube.com, 2021.
Gambar 6. Keluarga yang menyantap hidangan bersama
Sumber: youtube.com, 2021
Gambar 7. Anak dan Ibu menampilkan adegan kedekatan yang erat
Sumber: youtube.com, 2021.
Dalam iklan tersebut ditunjukkan bagaimana citra-citra yang disakralkan oleh masyarakat sangat tampak, yakni kebanggaan dan keintiman. Dengan membeli produk-produk sale yang ditawarkan oleh Lazada, kekosongan yang ada di diri manusia, seperti ketidakberdayaan dan ketidakharmonisan. Iklan tersebut menawarkan ilusi bahwa kebahagiaan dapat diperoleh asalkan individu ikut merayakan konsumsi-totem. Masyarakat yang bahagia adalah masyarakat yang ada di dalam lingkaran budaya kapitalisme konsumen.
Selain itu iklan ini juga menampilkan apa yang disebut Goffman sebagai realisme. Goffman melihat bahwa di dalam iklan, terdapat penggambaran adegan yang seolah-olah bisa menjadi nyata, walaupun kenyataannya tidak. Iklan menampilkan diri untuk terlihat aneh, sehingga refleksi masyarakat menjadi terdistorsi. Hal tersebut tampak dengan latar yang diilustrasikan oleh iklan. Seolah-olah masyarakat yang mengonsumsi produk-produk yang ditawarkan oleh Lazada adalah mereka yang memiliki segala sandang, pangan, dan papan yang seragam. Penulis rasa tidak semua orang yang membeli produk-produk yang ditawarkan oleh Lazada ini memiliki akses ekonomi dan status sosial yang sama dengan para pemeran iklan tersebut.
Dimensi religius ketiga yang ada di dalam iklan adalah iklan memediasi perhatian utama (Sheffield, 2006). Perhatian utama di sini adalah mempertahankan budaya kapitalisme konsumen. Tillich (1963 dalam Sheffield, 2006) menjelaskan bahwa setiap individu memperhatikan apa yang dianggapnya ultimat atau sakral dan hal ini difasilitasi oleh iklan. Dia juga mengatakan bahwa dunia aktivitas pasar ekonomi sekarang menjadi pusat dari apa yang dikatakan sebagai “suci”. Tillich (1951 dalam Sheffield, 2006) menyebutkan bahwa iklan menghasilkan kecemasan dengan taktik seperti menakut-nakuti. Iklan juga memberikan makna pada obyek yang telah dikosongkan melalui fethisisme komoditas dan mengisinya dengan dimensi religius.
Gambar 8. Para pemeran iklan dan tagline iklan Lazada
Sumber: youtube.com, 2021.
Dari gambar di atas terlihat bagaimana para pemeran iklan mengajak audience untuk ikut bergabung ke dalam budaya kapitalisme konsumen. Tagline Lazada Filipina yang digunakan dalam iklan ini, “Paskong Pinoy? Nasa Lazada Yan!” jika diterjemahkan secara kasar seperti Natal (orang) Filipino? Ya Lazada. Hal ini membuat perhatian utama dari perayaan Natal di Filipina adalah dengan membeli barang-barang yang ditawarkan oleh Lazada. Mungkin tagline tersebut terkesan menakut-nakuti. Untuk menjadi seorang Filipino yang merayakan Natal, maka perlu membeli produk-produk yang ditawarkan oleh Lazada. Dengan memberi wadah bagi ketidakpuasan manusia dan fethisisme komoditas, iklan Lazada ini seperti hendak mengisi kekosongan batin manusia.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa iklan memiliki tiga dimensi religius, yakni sebagai mediator ilahi, sakramentalitas, dan memediasi perhatian utama. Hal ini dilakukan sebagai suatu upaya untuk memperkuat budaya kapitalisme konsumen. Iklan juga memberikan citra-citra baru bagi manusia untuk mengisi kekosongan dalam diri manusia tersebut. Hal ini juga dilakukan oleh agama. Iklan juga mengubah makna suatu produk menjadi makna yang lebih sakral. Jika tidak mempunyai kemampuan untuk berpikir kritis, maka audience bisa saja memakan menatah-mentah (taken for granted) pesan-pesan iklan, sama seperti seorang yang fanatik terhadap agama. Pada akhirnya mereka malah menghancurkan dirinya sendiri.
Referensi:
Lazada Philippines. (2021, 12 November). #LazadaPH1212 Grand Christmas Sale na this Dec 12-14! Youtube. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=SRBJGBdprJI&list=LL&index=2 pada 14 November 2021.
Power Point Hipertualisasi Iklan. Diakses dari https://kuliah.uajy.ac.id/mod/resource/view.php?id=281558 pada 15 November 2021.
Sheffield, T. (2006). The Religious Dimensions of Advertising. United Kingdom: Palgrave Macmillan. Diakses dari https://kuliah.uajy.ac.id/pluginfile.php/467987/mod_resource/content/1/ADVERTISING%20The%20Religious%20dimensions%20of%20advertising.pdf pada 14 November 2021.
ความคิดเห็น