Wacana Periklanan adalah bagian dari Wacana Sosial
Istilah periklanan muncul dari bahasa Latin, yakni advertere yang berarti “untuk mengarahkan perhatian seseorang kepada”. Perhatian tersebut diperlukan bagi seorang penjual agar seseorang tertarik membeli suatu produk ataupun layanan yang diproduksi olehnya. Pada tahun 1920-an, ketika periklanan menjadi suatu fenomena luas, semua orang dapat mengakses iklan-iklan yang dibuat (Danesi, 2015). Ketertarikan tersebut didasari bahwa bentuknya yang terkesan sederhana, namun memiliki kekuatan emosional yang kuat. Kekuatan emosional ini dihasilkan oleh penggunaan bahasa yang digunakan di dalam iklan. Sebelum membahas lebih jauh mengenai wacana periklanan di dalam wacana sosial, maka perlu terlebih dahulu memahami apa itu wacana.
Kata wacana merujuk pada suatu konstruksi khusus bahasa yang memiliki tujuan sosial maupun psikososial. Salah satu dari manifestasi khusus yang ada di dalam wacana adalah percakapan (Danesi, 2015). Percakapan diatur oleh kerangka sosial yang jauh lebih besar dan wacana bermain pada variabel-variabel sosial, seperti kelas, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Hal tersebut membuat wacana digunakan dalam mengungkapkan nilai-nilai bersama, pandangan dunia, keyakinan, bias, dan lain-lain. Gee (2005 dalam Helde, 2015) menjelaskan bahwa wacana merupakan bahasa, baik tulis maupun lisan, yang digunakan dengan makna yang lebih berorientasi pada hal-hal yang terkait dengan sosial-politik. Sedangkan Fairclough (1995 dalam Helde, 2015) menyebut bahwa wacana hanya bentuk tertentu dari praktik sosial, yang di dalam pusatnya kekuasaan dan ideologi saling memengaruhi dan berinteraksi satu sama lain.
Wacana sendiri biasanya dapat dikenali dengan kata kunci yang kerap kali muncul di dalam tuturan yang relevan maupun oleh struktur lain yang saling terkait, seperti format argumen logis, gaya percakapan, dan lainnya. Kekuatan sebuah wacana didasari pada sistem pengetahuan yang dimiliki bersama mengenai suatu praanggapan budaya dan evaluasi mengenai makna yang terkandung di dalam suatu konteks. Wacana juga memiliki sifat yang intertekstual, karena wacana menyinggung tuturan sebelumnya, seperti tema-tema budaya. Hal tersebut membuat wacana periklanan adalah salah satu bagian wacana sosial yang lebih luas, yang digunakan oleh orang setiap harinya dalam berbagai cara maupun tingkat yang berbeda, tergantung pada kelas, latar belakang, maupun variabel-variabel lainnya (Danesi, 2015).
Dasar dari gaya periklanan adalah retorika. Wacana periklanan dibuat untuk mengemukakan makna-makan tertentu melalui kiasan, metafora, ironi, humor, dan lain-lain. Di dalam iklan sendiri, seseorang tentu akan menemukan banyak jargon yang sejatinya merupakan metafora konseptual yang hendak menghubungkan suatu produk dengan pola pikir sosial (Danesi, 2015). Dari sana, iklan dapat memungkinkan konsumen untuk mengidentifikasi produk apa yang hendak mereka beli (atau tidak). Iklan berusaha untuk membuat karakter tertentu dari suatu produk dengan tujuan agar pengenalan produk dapat meningkat. Wacana periklanan kerap kali disebut sebagai wacana campuran. Hal tersebut disebabkan karena iklan berusaha mengadaptasi wacana atau tren sosial yang relevan untuk tujuan pemasarannya sendiri.
Kemudian Vstargaard dan Schroder (1985 dalam Dattamajumdar, 2007) menjelaskan bahwa di dalam bahasa iklan tidak ditemukan kohesi sebagai penanda yang jelas. Sebaliknya interpretasi pesan iklan sering kali menuntut koherensi dari sudut pandang pemahaman konsumen. Hal tersebut membuat wacana periklanan sangat bergantung pada harapan pragmatis yang dilahirkan oleh latar sosial budaya tertentu di mana iklan tersebut diorganisir. Dalam studi mengenai wacana periklanan, terdapat salah satu gagasan yang cukup menarik, yakni kontradiksi. Leech, 1981 dalam Dattamajumdar, 2007) menjelaskan istilah kontradiksi sebagai pernyataan yang secara makna salah dan benar-benar tidak masuk akal. Wacana periklanan mencoba untuk menyampaikan rasa absurditas sehingga teks iklan menjadi menarik (catchy).
Iklan kerap kali menampilkan banyak varietas dalam representasinya (Todorova, 2018). Hal tersebut digunakan untuk memprovokasi minat, rasa ingin tahu, mimpi, keinginan, dan lainnya dari sang audience. Para pembuat iklan juga dapat menggunakan imajinasi yang dimiliki oleh masyarakat. Johnson (Todorova, 2018) menjelaskan bahwa imajinasi merupakan kapasitas kreatif dari manusia untuk dapat menyusun ulang representasi dan menghasilkan struktur yang baru. Oleh karena itu, iklan juga kerap kali dapat memengaruhi sudut pandang masyarakat dan akhirnya dapat mengubah persepsi seseorang kepada tujuan tertentu. Para pengiklan pada akhirnya bermain dengan situasi yang berkaitan dengan berbagai praktik sosial dan budaya, nilai, kepercayaan, prasangka, norma, serta pandangan yang ada di masyarakat untuk mempromosikan produk-produk yang akan mereka jual.
Perlu diketahui pula bahwa para pengiklan bukanlah inovator (Helde, 2015). Mereka lebih berminat untuk memperkuat gaya hidup (hal yang sering ditampilkan di dalam iklan) daripada menyebarkan inovasi yang kemungkinan akan memiliki risiko yang lebih besar secara komersial. Iklan tidak sendirinya mengganggu sistim nilai dan arus utama budaya. Mereka lebih berminat untuk menghasilkan iklan yang mencerminkan pergeseran yang sudah ada di dalam budaya populer.
Perdebatan peran dan dampak iklan dalam masyarakat
Iklan adalah suatu hal yang tidak asing bagi masyarakat kontemporer. Iklan dapat dilihat di mana saja, di koran, tabloid, radio, televisi, media sosial, bahkan dalam aplikasi pemutar musik pada telepon pintar. Keberadaannya dalam masyarakat tentu akan menghasilkan beragam implikasi, baik positif maupun negatif.
Iklan merupakan suatu bentuk promosi produk atau jasa. Dengan iklan, sebuah perusahaan dapat menemukan caranya untuk mengekspos produk mereka kepada khalayak dan dapat memaksimalkan penjualan mereka (Subramanian, 2017). Iklan dapat menekan pengeluaran yang dibutuhkan oleh perusahaan dalam mempromosikan produknya tanpa harus berkeliling dan menjajakannya kepada masyarakat. Produk dapat dikenali oleh masyarakat dengan mudah sehingga akan meningkatkan konsumsi dan juga nantinya akan meningkatkan permintaan pada produk tersebut.
Iklan juga dapat digunakan sebagai salah satu upaya untuk membangkitkan kesadaran masyarakat, seperti pendidikan masyarakat terkait dengan penyakit atau bahaya tertentu (HIV/AIDS, Virus Covid-19, TBC, dan lain-lain). Dengan hadirnya iklan, masyarakat di pelosok dapat mengetahui berbagai macam penyakit dan bagaimana mereka perlu mengatasinya (Subramanian, 2017).
Selain itu, iklan juga dapat menginformasikan ke publik mengenai hal-hal tertentu. Informasi mengenai konser maupun pertunjukan tertentu dapat diberikan secara langsung melalui sebuah iklan. Suatu badan amal dapat menggunakan media untuk mengiklankan bencana tertentu untuk mendorong partisipasi masyarakat untuk berdonasi. Organis sosial dan LSM dapat menggunakan iklan sebagai sarana untuk mempromosikan kampanye yang mereka lakukan. Pada saat perang masih menjadi hal yang biasa di zaman dahulu, iklan berperan dalam menggalang mobilisasi massa (Gannon & Lawson, 2010).
Iklan juga bisa berdampak negatif bagi masyarakat. Beberapa kritikus menjelaskan bahwa iklan tidak berperan dalam pemberian informasi pendidikan atau penjelasan produk kepada konsumen. Iklan memberi manusia harapan untuk dapat memecahkan permasalahan tertentu dengan membeli suatu produk (Sogorin, 2015). Iklan mendaur ulang dan menyaring setiap realitas kemudian mengubahnya menjadi produk yang siap untuk dikonsumsi. Kehidupan sehari-hari seseorang menjadi berada di bawah kekuasaan pseudopodia dan struktur semu, yang mensimulasikan serta pada saat yang sama akan menghancurkan kenyataan.
Baudrillard menjelaskan bahwa iklan dan media modern pada umumnya memiliki peran untuk menghasilkan pesan yang kerap kali cerah dan spektakuler, namun tidak bermakna. Iklan menciptakan massa konsumen yang pasif secara sosial dan mudah dikelola. Iklan berperan dalam menghilangkan individu dari realitas sosialnya dan menjerumuskan ke dalam realitas yang hiper. Iklan secara terus-menerus akan menciptakan ilusi bagi manusia bahwa dengan selalu membeli barang-barang, seseorang dapat menemukan nilai hidup dan meraih cita-cita. Hal ini membuat iklan berperan dalam memperkenalkan citra holistik masyarakat dengan memberi seseorang kepuasan akan barang-barang material.
Pernyataan yang disampaikan oleh Baudrillard senada dengan apa yang ditulis oleh Gannon dan Lawson (2010). Mereka berpendapat bahwa pasar merupakan motor di balik ekspansi periklanan. Pasar membutuhkan keuntungan yang semaksimal mungkin. Oleh karena itu iklan berperan dalam menciptakan suatu keinginan menjadi sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada akhirnya ketika seseorang mengonsumsi terlalu banyak benda, orang tersebut akan menjadi lebih kaya tetapi juga menjadi lebih tidak bahagia.
Kemudian iklan identik dengan gagasan bahwa konsumsi secara berlebihan merupakan hal yang normal (Gannon & Lawson, 2010). Untuk membayar gaya hidup konsumtif semacam itu, maka manusia semakin dituntut untuk bekerja keras atau memilih jalan alternatif, yakni meminjam uang. Ketika tingkat hutang semakin tinggi, tidak hanya individu yang akan menemui permasalahan, stabilitas ekonomi juga akan terdampak. Gannon dan Lawson (2010) menjelaskan bahwa akar dari krisis keuangan saat ini adalah runtuhnya pasar subprima dan kredit yang murah.
Binkley (2007) melihat bahwa di dalam budaya periklanan fetisisme komoditas terjadi. Maksudnya adalah nilai dan makna suatu barang yang bersifat historis dan sosial dialihkan menjadi sekadar komoditas. Budaya massa mengubah pengalaman suatu produk yang dapat dipasarkan menjadi suatu representasi, yakni mengidentifikasi diri melalui barang-barang yang dibelinya (Falk, 2007).
Iklan juga berperan dalam membentuk budaya masyarakat yang terburu-buru. Kepedulian kini tergantikan dengan aktivitas bekerja dan belanja. Iklan berkontribusi pada hilangnya keseimbangan dalam hidup manusia, seperti menikmati waktu luang, melalui tekanan yang terus-menerus diberikan kepada manusia, yakni dengan mengonsumsi berbagai macam produk.
Lingkungan juga terdampak dengan berkembangnya iklan secara masif. Iklan-iklan cetak yang bertebaran maupun menempel pada tembok maupun tiang menjadikannya sebagai polusi. Mesin iklan yang terus menerus bekerja juga akan mengakibatkan rusaknya sumber daya alam. Konsumsi terus-menerus yang menjadi tujuan periklanan komersial berdampak pada bencana ekologis. Erik Assadourian, seorang rekan peneliti dari Wordlwatch Institute menjelaskan bahwa gaya hidup konsumtif yang mengakibatkan gas rumah kaca yang mendorong terjadinya perubahan iklim (Gannon & Lawson).
Dari berbagai peran negatif yang ditimbulkan oleh iklan, beberapa kelompok masyarakat berusaha untuk melawan. Salah satu bentuk perlawanannya adalah culutre jamming. Culture jamming merupakan upaya dari aktivis sosial yang terorganisir dengan tujuan untuk melawan pemboman pesan yang berorientasi pada konsumsi di media massa. Upaya ini juga bisa diartikan sebagai gangguan budaya konsumtif. Para aktivis berusaha untuk mendobrak tembok wacana publik yang dikendalikan oleh perusahaan, terdistorsi, asimetris, dan membangkitkan orang dari budaya hegemonik yang mana logika konsumsi meresap dalam setiap aspek pengalaman hidup seseorang (Rumbo, 2002 dalam Handelman & Kozinets, 2007).
Analisis Semiotika Iklan
Analisis Semiotika Iklan Roland Barthes
Mercedes-Benz: Giant Respect
Pada abad ke-21, manusia dapat melihat bahwa perkembangan teknologi dan informasi semakin meningkat. Keterlibatan teknologi hampir merasuk ke salam semua aspek kehidupan manusia,. Hampir tidak ada kehidupan sosial maupun budaya yang tidak bersentuhan dengan teknologi (Nurimba & Muhiddin, 2020). Salah satu bentuk dari teknologi adalah media komunikasi.
Dalam mencapai target yang diinginkan, komunikasi memerlukan penggabungan beberapa media sekaligus. Hal tersebut dapat dilihat melalui media audio visual. Iklan sebagai salah satu bentuk komunikasi juga menggunakan media audio visual untuk menarik minat para audience.
Dunia ekonomi kapitalislah yang meraup keuntungan dari periklanan. Di dalam masyarakat kapitalis, periklanan menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindari (Hasan, 2018). Cook (1992 dalam Helde, 2015) menjelaskan bahwa iklan terlibat di dalam kehidupan sehari-hari. Iklan mencerminkan masyarakat. Selain itu iklan juga berusaha untuk menyampaikan makna, pesan, dan signifikansi sosial yang ada di dalam masyarakat. Makna dan pesan inilah yang akan dilihat melalui analisis semiotika.
Semiotika merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tanda. Tanda dapat ditemukan di mana-mana. Dari tanda inilah, muncul makna terselubung yang kerap kali tidak dibayangkan oleh orang awam. Salah satu metode semiotika adalah model yang diperkenalkan oleh Roland Barthes. Dalam metodenya, Barthes mengacu pada Saussure dengan menyelidiki adanya hubungan antara penanda dengan petanda di dalam sebuah tanda (Wahyuningsih, 2014). Penanda dan petanda ini dimunculkan tidak hanya secara konotatif, tetapi juga secara denotatif. Chandler (Wahyuningsih, 2014) menjelaskan bahwa denotasi merupakan tahap pertama dalam menginterpretasikan suatu tanda yang hendak ditemukan. Tahap ini kemudian dilanjutkan dengan menganalisis penanda dan petanda secara denotatif.
Salah satu hal yang menonjol dalam metode Barthes adalah pengungkapan mitos yang ada di dalam masyarakat. Mitos menjadi hal yang penting bagi kelompok sebagai kunci bagaimana pikiran manusia dapat bekerja di dalam kelompok atau masyarakat (Wahyuningsih, 2014). Dari sanalah penulis tertarik untuk meneliti iklan melalui semiotika Barthes. Iklan yang akan dianalisis merupakan iklan yang dikeluarkan oleh salah satu produsen mobil terkemuka dunia, yakni Mercedes-Benz. Penulis ingin mencari tahu bagaimana makna dihasilkan dari iklan tersebut. Adapun analisisnya adalah sebagai berikut.
Dalam iklan tersebut makna yang mendominasi adalah maskulinitas. Maskulinitas merupakan sebuah konstruksi mengenai kelaki-lakian yang perlu diperankan oleh laki-laki (Wandi, 2015). Di dalam konstruksi ini, berbagai nilai mengenai hal-hal tertentu menjadi serangkaian patokan yang mana laki-laki akan dinilai sebagai laki-laki ideal.
Media Awareness NetWork melakukan sebuah penelitian yang menghasilkan lima karakteristik maskulinitas (Kurnia, 2004). Penulis hanya menjelaskan satu di antara kelima identifikasi yang terkait langsung dengan iklan di atas. Laki-laki ideal dicirikan sebagai laki-laki yang memiliki tubuh yang besar, kekar, dan berotot. Bentuk tersebut hanya bisa didapatkan ketika seseorang mau melakukan olahraga yang keras. Bentuk tubuh yang ideal ini apabila dilacak dari sejarahnya berakar dari penggambaran budaya Yunani Kuno dan Romawi. Maskulinitas bagi masyarakat Yunani Kuno dilambangkan melalui perwujudan dewa maupun tokoh mitos yang tampan, gagah, memiliki otot yang kuat, perkasa dan pandai. Sedangkan budaya Romawi melambangkan maskulinitas terkait dengan heroisme. Hal tersebut juga dibenarkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Brown (Suprapto, 2018). Tubuh yang kekar diidentikkan sebagai power, khususnya male power. Secara sosial, kekuatan dianggap memberikan jaminan keamanan dan perlindungan bagi laki-laki itu sendiri. Sementara di mata perempuan, tubuh yang kekar juga melambangkan kekuatan yang membuat rasa bangga dan aman ketika berada bersama pria yang “ideal”.
Maskulinitas yang terus menerus direpresentasikan oleh iklan kerap kali mengakibatkan diskriminasi pada laki-laki yang tidak sesuai dengan patokan. Mereka dianggap sebagai laki-laki yang kurang “macho” dan tidak memiliki kekuatan. Ketika pandangan (stereotip) tersebut melembaga secara terus-menerus di dalam masyarakat, maka mereka yang terdiskriminasi akan tidak percaya diri dengan tubuh yang mereka miliki. Iklan malah menimbulkan rasa tidak bahagia untuk manusia.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa maskulinitas mencirikan sebuah kondisi yang ideal untuk seorang laki-laki. Hal tersebut mewujud pada salah satu indikatornya, yakni bentuk tubuh yang ideal (berotot, kekar, bertato). Ketika gagasan ini tidak dapat dipenuhi, maka seorang laki-laki akan terdiskriminasi dan tidak percaya diri.
Referensi:
Ads of Brands. (2021, 27 Oktober). Mercedes-Benz: Giant Respect [Video]. Youtube. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=xyrIsQi3JCg pada 27 Oktober 2021.
Binkley, S. (2007). Consumtion, spectacles of. Dalam The Blackwell Encyclopedia of Sociology. New York: Blackwell Publishing. Diakses dari https://3lib.net/book/648095/bad2ee pada 28 Oktober 2021.
Danesi, M. (2015). Advertising discourse. The international encyclopedia of language and social interaction, 1-10. Diakses dari https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/9781118611463.wbielsi137 pada 17 Oktober 2021.
Dattamajumdar, S. (2007). Ambivalence and Contradiction in Advertising Discourse. The Asiatic Society, 84-99. Diakses dari https://www.academia.edu/download/3249209/Ambivalence_and_contradiction.pdf pada 17 Oktober 2021.
Falk, P. (2007). Consumtion, experimental of. Dalam The Blackwell Encyclopedia of Sociology. New York: Blackwell Publishing. Diakses dari https://3lib.net/book/648095/bad2ee pada 28 Oktober 2021.
Gannon, Z., & Lawson, N. (2010). The Advertising Effect. How do we get the balance of advertising right. Diakses dari https://www.bl.uk/britishlibrary/~/media/bl/global/social-welfare/pdfs/non-secure/a/d/v/advertising-effect-how-do-we-get-the-balance-of-advertising-right.pdf pada 26 Oktober 2021.
Handelman, J. M. & Kozinets, R. V (2007). Culture jamming. Dalam The Blackwell Encyclopedia of Sociology. New York: Blackwell Publishing. Diakses dari https://3lib.net/book/648095/bad2ee pada 28 Oktober 2021.
Helde, A. G. (2015). Advertise With Social Discourse, as a Brand Positioning Technique: The Focuse on Consumers Advertising. Sociology Study, 5(9), 689-699. Diakses dari http://www.davidpublisher.com/Public/uploads/Contribute/56974c0743600.pdf pada 19 Oktober 2021.
Kurnia, N. (2004). Representasi Maskulinitas dalam Iklan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 8(1), 17-36. Diakses dari https://journal.ugm.ac.id/jsp/article/view/11056/8297 pada 27 Oktober 2021.
Nurimba, Y., & Muhiddin, A. (2020). Analisis Semiotika Roland Barthes Pada Iklan Rokok Apache Versi Hidup Gue Cara Gue. Journal of Communication Sciences (JCoS), 3(1), 18-25. Diakses dari http://www.journal-uim-makassar.ac.id/index.php/JCoS/article/view/537 pada 27 Oktober 2021.
Suprapto, D. (2018). Representasi maskulinitas hegemonik dalam iklan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Sains dan Humaniora, 2(1), 1-11. Diakses dari https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JPPSH/article/download/14004/8703 pada 27 Oktober 2021.
Sogorin, A. A. (2015). ADVERTISING CONCEPT OF JEAN BAUDRILLARD WITHIN THE SOCIOLOGICAL SCIENTIFIC DISCOURSE. Международный научно-исследовательский журнал, (11 (42) Part 5), 68-70. Diakses dari https://research-journal.org/en/sociology/koncepciya-reklamy-zh-bodrijyara-v-ramkax-sociologicheskogo-nauchnogo-diskursa/ pada 26 Oktober 2021.
Subramanian, K. R. (2017). Influence of social media in interpersonal communication. International Journal of Scientific Progress and Research, 38(2), 70-75. Diakses dari https://www.researchgate.net/profile/Kalpathy-Subramanian/publication/319422885_Influence_of_Social_Media_in_Interpersonal_Communication/links/59a96d950f7e9b2790120fea/Influence-of-Social-Media-in-Interpersonal-Communication.pdf pada 26 Oktober 2021.
Todorova, R. (2018). Knowledge, reality and imagination in advertising discourse. Knowledge International Journal, 22(1), 297-301. Diakses dari https://ikm.mk/ojs/index.php/KIJ/article/download/2680/2556 pada 19 Oktober 2021.
Wahyuningsih, S. (2014). Kearifan budaya lokal Madura sebagai media persuasif (analisis semiotika komunikasi Roland Barthes dalam iklan Samsung Galaxy versi Gading dan Giselle di pulau Madura). SOSIO-DIDAKTIKA: Social Science Education Journal, 1(2), 171-180. Diakses dari http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/SOSIO-FITK/article/download/1259/1125 pada 27 Oktober 2021.
Wandi, G. (2015). Rekonstruksi maskulinitas: menguak peran laki-laki dalam perjuangan kesetaraan gender. Kafaah: Journal of Gender Studies, 5(2), 239-255. Diakses dari https://www.kafaah.org/index.php/kafaah/article/download/110/90 pada 27 Oktober 2021.
Commentaires